Suhu udara di seluruh dunia meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan. Baru-baru ini, tim peneliti di Inggris mencoba mengidentifikasi negara-negara mana yang paling berisiko terkena bahaya gelombang panas. Analisis ini dibuat agar masyarakat yang hidup di wilayah terdampak bisa lebih mempersiapkan diri sehingga mengurangi jumlah kematian.

Para ilmuwan juga memperhitungkan faktor-faktor dampak gelombang panas pada berbagai sektor, seperti sosial ekonomi, pertumbuhan populasi, stabilitas jaringan energi, dan ketersediaan layanan kesehatan. Risetnya ini diterbitkan di jurnal Nature Communications.

Penelitian menyebutkan wilayah seperti Afghanistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah paling berisiko terkena dampak gelombang panas yang merusak. China, terutama Beijing, dan Eropa Tengah juga termasuk wilayah rentan, di mana populasi yang padat menempatkan risiko kematian lebih tinggi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Suhu udara di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Jabodetabek, belakangan ini memang terasa lebih panas dari biasanya. Namun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan jika ditinjau secara lebih mendalam, fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori gelombang panas.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan suhu udara maksimum harian tertinggi terjadi di Ciputat mencapai 37,2 derajat Celsius pada pertengahan April 2023 lalu. Sementara itu, suhu harian rata-rata tertinggi berkisar antara 34 hingga 36 derajat Celsius di beberapa wilayah Indonesia.

Adapun suhu udara di negara-negara yang terdampak gelombang panas mencapai 40 hingga 50 derajat Celsius. Badan meteorologi di negara-negara Asia seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos telah melaporkan beberapa kejadian suhu panas lebih dari 40 derajat Celsius.

Negara harus mempersiapkan diri hadapi Gelombang Panas

Karena gelombang panas diprediksi akan lebih sering terjadi di masa depan, para ilmuwan mengatakan ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menghadapi gelombang panas mengancam jiwa.

“Sering kali daerah hanya siap menghadapi kejadian ekstrem yang pernah mereka alami dengan perencanaan yang diprakarsai oleh bencana di masa lalu,” tulis tim peneliti sebagaimana dikutip ScienceAlert.

“Pembuat kebijakan dan pemerintah perlu mempersiapkan diri untuk peristiwa di luar mitigasi saat ini, terutama akibat tren yang disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik yang meningkatkan kemungkinan cuaca ekstrem.”

Periset mengatakan, gelombang panas tidak hanya bisa membunuh orang secara langsung, tapi juga bisa mengganggu kehidupan sehari-hari. Gelombang panas juga berdampak besar pada sektor pertanian dan punya efek lanjutan seperti meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.

Oleh karena itu, melakukan mitigasi sedini mungkin sangat bermanfaat untuk mengurangi risiko kematian akibat gelombang panas. Persiapan yang bisa dilakukan termasuk, menyediakan tempat teduh atau ruangan ber-AC di lingkungan perkantoran, serta pengurangan jam kerja.

Peneliti menilai negara-negara berkembang adalah wilayah yang paling tidak punya mitigasi yang komprehensif untuk menghadapi gelombang panas. Mereka berharap negara-negara berkembang ini untuk mulai menerapkan langkah-langkah yang bisa diterapkan untuk mengurangi bahaya cuaca eksrem, termasuk gelombang panas.

“Menjadi siap menyelamatkan nyawa. Kami telah melihat beberapa gelombang panas yang paling tidak terduga di seluruh dunia menyebabkan kematian,” ujar Dann Mitchell, ilmuwah atmosfer dari University of Bristol.

“Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa peristiwa pemecahan rekor seperti itu dapat terjadi di mana saja. Pemerintah di seluruh dunia perlu bersiap.”


Source: kumparan

Leave A Comment